Kamis, 23 Maret 2017

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN DAKWAH ISLAM

Tidak ada komentar:
Landasan Hitoris Lahirnya Muhammadiyah
Kemegahan peradaban Islam berakhir dengan serbuan tentara Mongol pada pertengahan abad ke-13 yang meluluhlantakkan kota Bagdad, seiring dengan tumbuhnya benih-benih kebangkitan kembali Eropa dengan ‘renaisance’nya. Sementara Islam memasuki masa-masa zaman kegelapan sampai pada awal abad ke-19, karena sebagian besar daerah kekuasaan Islam telah menjadi daerah kekuasaan imperialisme Eropa sebagai wujud dari ‘kebangkitan’ Eropa.
Masa kegelapan Islam baru berakhir dan memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan pada awal abad ke-19. seiring dengan lahirnya tokoh-tokoh pembaharu islam dan berbagai gerakan islam di dunia Arab. Pertama, gerakan muncul di Mesir dengan tiga tokoh, yaitu : Jamaluddin Al Afghani ynag berkebangsaan Afghanistan dijuluki sebagai ‘tokoh Renaisance Islam’, Muhammad Abduh yang berkebangsan Mesir bercita-cita terwujudnya kejayaan dan kemuliaan ummat Islam di negeri mana pun, serta Rasyid Ridho dan Muhammad Iqbal. Walaupun sebelum mereka sudah terlebih tumbuh benih-benih kebangkitan melalui tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab dengan gerakan wahabi-nya (Islam murni).

Mata rantai pembaharuan Islam di dunia Arab akhirnya pun melanda nusantara melalui pemikiran para ulama yang belajar di Arab. Gerakan pebaharuan Islam yang berkembang di Arab mengusung cita-cita mengembalikan Islam pada jalan sesungguhnya dengan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai solusi keterbelakangan terhadap umat Islam. Dengan kembali kepada sumber ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah maka umat Islam di seluruh dunia bisa keluar dari perbedaan interpretasi ajaran yang terpolar dengan beberapa aliran teologi yang menjadi sumber perpecahan ummat Islam.
Selain pengaruh gerakan di atas, ada beberapa sebab lahirnya muhammadiyah, antara lain:
a. Keinginan dari KH. Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangan dan da’wah untuk menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an, Surat Ali Imron : 104 dan surat Al-Ma’un sebagai sumber bagi gerakan sosial-praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
b. Ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia, sebagai bentuk ‘adaptasi tidak tuntas’ antara tradisi islam dan tradisi lokal nusantara awal yang bermuatan paham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya umat Islam di Indoneia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip aqidah Islam yang menolak segala bentuk kemusryikan, taqlid, bid’ah dan khurafat. Sehingga purifikasi (pemurnian) ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam Indonesia.
c. Keterbelakangan umat Islam Indonesia dalam segala segi kehidupan menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan solusi agar dapat keluar dari keterbelakangan. Keterbelakangan umat Islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya dianggap menjadi sumber lahirrnya generasi baru muda Islam yang berpikiran modern. Kesejahteraan umat Islam akan tetap berada di bawah garis kemiskinan jika ‘kebodohan’ masih melingkupi umat Islam Indonesia.
d. Maraknya kristenisasi di Indonesia sebagai efek domino dari imperialisme Eropa ke dunia timur yang mayoritas beragama Islam. Proyek kristenisasi satu paket dengan proyek imperialisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan untuk memeperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industri yang melanda Eropa.
e. Imeprialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan dan para penginjil untuk menyampaikan ‘ajaran jesus’ untuk menyapa ummat manusia di seluruh dunia untuk ‘mengikuti’ ajarran jesus. Tetapi juga membwa angin modernisasi yang sedang melanda Eropa. Modernisasi yang berhembus melalui model pendidikan barat (belanda) di Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan modernisasi Eropa, seperti sekulerisme, individuisme, libelarisme dan rasionalisme. Jika penetrasi ini tidak dihentikan maka akan lahir generasi baru islam yang rasional tetapi liberal dan sekuler.
Arti Muhammadiyah
Dengan berbagai latar belakang diatas maka K.H. Ahmad Dahlan mengambil inisiatif untuk mendirikan muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M (8 Dzulhijjah 1330 H) di Yogyakarta. Secara etimologis Muhmmadiyah dapat diartikan sebagai “pengikut Muhammad SAW”, yang terdiri dari kata ‘Muhammad’ dan ‘ya nisbiyah’. Sehingga setiap orang yang meyakini dan menjadi pengikut Muhammad SAW adalah orang muhammadiyah tanpa dibatasi oleh ideologi golongan, bangsa, dan organisasi. Sementara secara terminology, muhammadiyah adalah gerakan dawah amar ma’ruf nahi munkar berasas Islam dan bersumber Al Qur’an dan sunnah demi terwujudnya baldhatun thaibatun warobbul ghofur, yang bersumber pada QS. Ali Imron: 104.

Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan muhammdiyah secara lengkap rumusannya seperti terdapat dalam anggaran dasar muhammadiyah, sbb:
“mengakkan dan menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT”
maksud dan tujuan muhammdiyah tersebut diwujudkan secara praksis dalam realitas kehidupan keagamaan dan sosial umat, al:
Bidang keagamaan
Tantangan modernitas dan tradisi (bermuatan takliq, bid’ah dan kurafat) menjadi dua persoalan keagamaan yang dihadapi oleh muhammadiyah. Purifikasi atau pemurnian dan gerakan tajdid adalah 2 hal yang menjadi ciri gerakan da’wah keagamaan muhammdiyah. Sehingga muhammadiyah juga merumuskan pedoman ubudiyah, muamalah, hisab, dan sebagainya melalui keputusan tarjih Muhammadiyah yang berisikan para ulama.
Bidang pendidikan
Kepedulian muhammadiyah dibuktikan dengan mendirikan lembaga pendidikan formal dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dengan menggabungkan antara pendidikan agama dan pendidikan umum sebagai jembatan untuk menuntaskan kebodohan yang sedang diidap oleh umat Islam Indonesia, sehingga seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat
Bidang sosial kemasyarakatan
Untuk memenuhi kebutuhan umat dan untuk keperluan da’wah, maka didirikan rumah sakit, panti asuhan, balai pengobatan, klinik, apotik, percetakan, lembaga peyuluhan dan lain-lain.
Bidang politik kenegaraan
Muhammdiyah berperan besar dalam pergerakan menjelang kemerdekaan, paska kemerdekaan, perlawanan atas pemberontakan PKI 1948 dan 1965, maupun dalam menjaga kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara kesatuan republik Indonesia. Namun muhammadiyah secara organisasi tidak terlibat dalam agenda politik praktis.
Ciri Perjuangan Muhammdiyah
Ada 3 ciri dari perjuangan muhammadiyah
1) Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Gerakan Islam dijadikan sebagai ciri perjuangan Muhammdiyah sebagai telaah terhadap QS Ali Imron: 104 serta 17 ayat Al-Qur’an lainnya yang didalamnya tergambar dengan jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat muhammadiyah dalam pengabdiannya kepada Allah SWT. Segala hal yang dilakukan oleh muhammadiyah di segala bidang di atas adalah semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam menuju masyarakat utama yang rahmatan lil ‘alamin.
2) Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
QS. Ali Imron: 104 menjadi khittah dan sumber strategi perjuangan muhammadiyah, yakni dakwah (menyuruh amar ma’ruf nahi munkar, dengan masyarakat sebagai objek perjuangannya). Dan semua amal usaha muhammadiyah merupakan media bagi gerakan dakwah Islamiyah
3) Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (purifikasi dan reformasi)
Sifat tajdid yang dikenakan pada gerakan muhammadiyah sebenarnya tidaklah hanya pada sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai penyimpangan ajaran Islam, tetapi juga upaya Muhammadiyah untuk melakukan berbagai pembaharuan tata cara pelaksanaan ajaran Islam, dalam realitas sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan salah satu ciri muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai gerakan purifikasi dan gerakan.muhammadiyah sebenarnya tidaklah hanya pada sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai penyimpangan ajaran Islam, tetapi juga upaya Muhammadiyah untuk melakukan berbagai pembaharuan tata cara pelaksanaan ajaran Islam, dalam realitas sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan salah satu ciri muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai gerakan purifikasi dan gerakan reformasi.
Struktur organisasi dan ortom muhammadiyah
Secara organisasional muhammadiyah memiliki struktur organisasi kepemimpinan berurutan dari tingkat ranting (tingkat desa), cabang (kecamatan), daerah (kota/kabupaten), wilayah (propinsi) dan pusat (nasional). Sementara kepengurusan dalam muhammadiyah terdiri dari beberapa bidang (majelis), antara lain:
Majelis tarjih
Majelis hikmah
Majelis tablig
Majelis pendidikan dasar dan menengah
Majelis kebudayaan
Majelis pembina kesejahteraan social
Majelis pembina kesehatan
Majelis pembina ekonomi
Majelis wakaf dan kehartabendaan
Majelis pustaka
Majelis pendidikan tinggi dan litbang
Dan beberapa lembaga
Disamping majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom (ortom) yang bernaung di bawah payung Muhammadiyah, dengan diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Ortom-ortom tersebut adalah :
1) Aisyiyah
2) Nasyiatul Aisyiyah (NA)
3) Pemuda Muhammadiyah (PM)
4) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
5) Iaktan Remaja Muhamadiyah (IRM)
6) Tapak Suci Putra Muhammadiyah
Empat organisasi ortom, yaitu pemuda Muahammadiyah, Nasyiatul Asyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Ikatan Remaja Muhammadiyah tergabung dalam Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Sementara itu Ortom yang harus dibina di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (OTM) adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Tapak Suci Putra Muahammadiyah.
Peran Muhammadiyah dalam Perjalanan Sejarah Bangsa
Semenjak didirikan (1912), 4 tahun setelah Budi Utomo berdiri (1908) sebagai simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia modern awal, Muhammadiyah sudah mengambil peran bersama-sama organisasi perjuangan kemerdekaan lainnya untuk konsisten mencarikan jalan menuju kemerdekaan Indonesia. KH Ahmad Dahlan misalnya, ikut duduk sebagai pengurus Budi Utomo dan menjadi penasehat sarikat Islam. Penggantinya KH. Mas Mansur, merupakan tokoh Muhammadiyah yang terlibat banyak dalam pendirian Partai Islam Indonesia (1938) dan berbagai aktifitas perjuangan kemerdekaan lainnya. Begitu juga dengan Ki Bagus Hadi Kusuma yang banyak terlibat dalam perjuangan menjelang kemerdekaan 1945 dan beberapa tokoh lainnya bahkan terlibat dalam penyiapan konsep kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan, Muhammadiyah tetap tampil secara konsisten dalam berbagai peranan dakwah dan peran sosialnya. Muhammadiyah hadir sebagai penjaga moral bangsa. Ketika pemilu 1955, NU terlibat dalam politik praktis dan menjadi partai politik, Muhammadiyah tetap pada khittahnya. Walupun secara kultural Muhammadiyah sangat dekat dengan partai Masyumi, karena sebagaian besar tokoh-tokoh Masyumi adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah juga.
Ketika PKI menjadi kekuatan politik dan idiologi yang kuat pada pertengahan 60an, Muhammadiyah menjadi penghalang utama dan paling ditakuti untuk memasuknya paham-paham marxis dan komunis di Indonesia. Sampai 32 tahun suharto berkuasa, Muhammadiyah tetap melihat sebagai Ormas islam yang tetap focus pada agenda social praktis yang menyentuh realitas masyarakat tanpa ikut tergoda untuk ‘bermain’ dalam politik praktis. Tetapi mengusung agenda ‘high politik’, bukan ‘low politik’. Walau sesungguhnya banyak kader Muhammadiyah ikut ‘bermain’ dalam politik praktis (bergabung diberbagai partai politik) dan menjadi bagian dari birokrasi negara, Muhammadiyah tidak tergiur untuk meninggalkan khittahnya sebagai gerakan sivil society.
Peran Muhammadiyah bagi Indonesia Masa Depan.
Sebelum diurai lebih jauh tentang arah dan peran Muhammadiyah ke depan, maka perlu kita urai bebrapa hal yang menjadi ganjalan di Muhammadiyahuntuk melangkah lebih confiden ke depan, antara lain :
Menurunnya progresifitas gerakan dakwah akibat lemahnya penafsiran terhadap purifikasi (pemurnian) yang menjadi doktrin inti Muhammadiyah.
Muhammadiyah selalu terlambat dalam membangun mitos baru terhadap realitas untuk menuntun warganya, sehingga terlalu lama berkutat dengan mitos sinkretis, animis dan TBC. Sementara perlawanan terhadap KKN tidak perlu menjadi mitos di Muhammadiyah.
Menurunnya gerakan pemikiran (Intelektualisme) di Muhammadiyah yang berakibat serius pada perkembangan amal usahanya. Sehingga akan melemahkan daya antisifasi terhadap perubahan. Dalam hal ini Muhammadiyah tertinggal dalam diskursus teologis, sosiologis, antropologis, maupun perkembangan organisasi.
Muhammadiyah selalu terlambat merespon wacana pemikiran yang sedang berkembang, misalnya wacana Islam liberal, pluralisme, sosialisme relegius, demokrasi, post modernisme, post tradisionalisme, gender dan lain sebagainya.
Eforia politik paska revormasi (1998) membawa Muhammadiyah semakin dekat kegaris demarkasi politik praktis. Hampir sebagain warga Muhammadiyah terhanyut dalam eforia politik. Sehingga eksodus pimpinan Muhammadiyah dan Ortom ke parpol menjadi fenomena tersendiri.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting bagi eksistensi Muhammadiyah kedepan:
Memacu kembali progresifitas dan mempertajam arah gerakan dengan lebih respon terhadap perubahan dan realitas empirik ummat. Muhammadiyah harus lebih memiliki keperdulian terhadap persoalan kemiskinan, petani, buruh, persoalan social lainnya.
Perlu dilakukan tafsir ulang terhadap konsep purifikasi (TBC) yang selama ini menjadi doktrin Muhammadiyah. Hal ini dilakukan agar lebih jernih melihat realitas keberagamaan ummat yang histories dan realitas. Sehingga Muhammadiyah tidak tercabut dari akar budaya bangsa masyarakat dan memiliki titik sentuh dengan berbagai lapisan keberagamaan ummat. Dakwah kultural bukan diartikan dengan menghalalkan tradisi sinkretis, animis dan TBC, tetapi tradisi lokal diakomodasi untuk dituntun pada akidah yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah.
Membangkitkan kembali etos intelektualisme di Muhammadiyah agar lebih tangap terhadap perubahan dan wacana pemikiran yang berkembang. Sehingga agenda aktivisme di Muhammadiyah bersumber dan sejalan dengan etos intelektualisme. Tuntutan umat dan warga terhadap persoalan eologis, sosiologis, politik dan budaya menjadi terpenuhi. Termasuk tafsir pemikiran Muhammadiyah terhadap wacana pemikiran yang berkembang, seperti tafsir terhadap gender, pluralisme, demokrasi, dan HAM. Sehingga nantinya Muhammaiyah memiliki metodologi dalam memahami idealitas maupun realitas empirik umat dengan nalar Muhammadiyah. Tanpa bermaksud latah seperti arkoun dan al-jabiri dengan nalar ‘islam’ dan nalar ‘Arab’nya.
Muhammadiyah harus tetap konsisten dengan khittah perjuangan untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik praktis, sehingga agenda umat tidak terbengkalai, karena disibukkan dengan agenda-agenda politik jangka pendek.
Muhammadiyah harus selalu memiliki ide-ide kreatif dalam menyikapi berbagai persoalan dan agenda bangsa. Mulai dari persoalan pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.


Sumber:https://immkabupatenjember.wordpress.com/2009/04/15/muhammadiyah-sebagai-gerakan-dakwah-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top