Peran Muhammadiyah dalam politik nasional sangat penting.
Muhammadiyah memang bukan partai politik. Muhammadiyah lebih merupakan
organisasi Islamic-based civil society (masyarakat madani) dan sekaligus
sebagai interest group (kelompok kepentingan).
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, dimana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut
Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi
Persoalan ini tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI
Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan.
Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dimana Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan
Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakan amar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah.
Konteks amar ma’ruf nahi munkar
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi munkar yang telah menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah selemah-lemahnya Iman.
Dengan mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan nasional
Sumber : Mu’adz As , http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/06/muhammadiyah-dalam-politik-nasional.html
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, dimana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut
Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi
Persoalan ini tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI
Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan.
Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dimana Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan
Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakan amar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah.
Konteks amar ma’ruf nahi munkar
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi munkar yang telah menjadi “khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah selemah-lemahnya Iman.
Dengan mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan nasional
- Menyimak hadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama.
- Melihat perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan. Hal ini tentunya erat terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan rakyat. Dengan demikian misi amak makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang, malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.
Sumber : Mu’adz As , http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/06/muhammadiyah-dalam-politik-nasional.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar